BANGSA Indonesia
patut berbangga. Sebab dalam beberapa sektor, perjalanan demokrasi di negeri
ini semakin lebih baik. Sistem pemilihan secara langsung lambat laun juga terus
dibenahi. Masyarakat yang semakin cerdas serta kebebasan pers yang terbuka
dalam mengawal demokratisasi juga perlu disyukuri.
Tentu kemajuan-kemajuan tersebut menjadi modal
dalam menyambut Pemilu 2019. Kita berharap Pemilu 2019 menjadi pesta demokrasi
yang bersih, damai, dan aman. Sebuah pemilu yang tidak hanya mengedepankan
prosedural, tetapi juga pada hasil yang berkualitas dan substantif.
Mewujudkan pemilu yang bersih, damai, dan aman
tidaklah semudah membalik telapak tangan. Sebab meski secara prosedural semakin
baik, banyak catatan merah dalam perjalanan pemilihan umum di negeri ini.
Lubang-lubang demokrasi itu perlu kiranya kita tambal sulam agar pemilu
mendatang semakin berkualitas.
Dalam catatan Badan Pengawas Pemilihan Umum
(Bawaslu) RI, terutama pada pengalaman Pilkada Serentak 2017, kerawanan pemilu
masih terjadi di berbagai dimensi. Mulai dari penyelenggara, kontestasi, hingga
partisipasi masyarakat.
Dalam aspek penyelenggara, Bawaslu menemukan
masih adanya penyelenggara yang tidak bisa menjaga netralitas dan
profesionalitas. Bahkan Bawalsu juga menemukan tidak sedikit penyelenggara
pemilu yang terindikasi menyalahgunakan wewenang. Padahal kunci utama
penyelenggara pemilu adalah menjaga integritas diri agar tidak terjebak pada
kepentingan politik sesaat.
Pada kontestasi, sering terjadi konflik
antarkandidat yang melibatkan massa pendukung. Tak pelak cara-cara culas pun
kadang dilakukan demi memenangkan pemilu. Model-model kampanye hitam masih
sering ditemukan dalam setiap pelaksanaan pesta demokrasi. Mulai dari politik
uang (money politics) hingga politisasi agama mereka lakukan demi meraih
kemenangan. Termasuk penyebaran ujaran kebencian serta kabar bohong (hoaks)
melalui media sosial kerap mewarnai perjalanan demokrasi di negeri ini.
Memang tidak mudah menghindari permasalahan di
atas, terutama politisasi agama dalam pemilu. Sebab, agama (Islam) sarat dengan
pesan-pesan moral bagi pemimpin. Misalnya, pesan berlaku adil, jujur, amanah,
dan lain-lain. Karena itu, memilih calon pemimpin yang kredibel bisa bermakna
ibadah. Bahkan ”istikharah” merupakan salah satu media yang dilakukan banyak
ulama untuk memilih calon pemimpin kredibel.
Karena itulah butuh pemilahan antara seruan moral
agama dalam hal kepemimpinan dan pemanfaatan agama dalam kepentingan politik
sesaat. Maka, para tokoh agama juga perlu menyadari dan mewaspadai
tarik-menarik antara seruan agama dan kepentingan politik praktis ini.
Tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat perlu menjadi menguat demokrasi
substansial. Bukan sebaliknya, mengeroposkan demokrasi dengan berbalut agama.
Yang perlu dihindari oleh para tokoh agama yakni
jangan sampai menjual ”ayat, hadis, fatwa” untuk memenangkan calon tertentu
atau untuk menjatuhkan calon tertentu. Jangan sampai mengeluarkan ”fatwa
pesanan” untuk memenangkan calon tertentu atau untuk menjatuhkan calon
tertentu. Sebab, cara-cara seperti itu justru akan memperburuk jalannya
demokrasi di negari ini.
Ujaran kebencian serta penyebaran berita hoaks
perlu menjadi atensi tokoh masyarakat dan tokoh agama. Para tokoh agama harus
memberikan pencerahan kepada umat tentang akibat membuat dan menebar berita
hoaks.Yakni, di samping melanggar aturan agama (yang diancam dengan dosa dan
siksa), juga melanggar aturan pemerintah (yang berpotensi diseret ke meja
hijau). Belum lagi dampak sosialnya yang masif melalui medsos.
Para tokoh agama perlu mengajak jamaahnya untuk
mewaspadai berita hoaks, terutama yang bertendensi kepentingan politik. Jika
menerima berita, jangan langsung ditelan mentah-mentah, apalagi langsung
disebar kepada orang lain. Setiap informasi yang diterima, perlu dilakukan
tabayun sebelum disebarkan kepada orang lain.
Politisasi agama serta penyebaran berita hoaks
bakal berimplikasi negatif pada pemilu. Dampak terburuknya justru akan membuat
umat terpecah belah. Padahal sejatinya, pemilu diselenggarakan demi melahirkan
pemimpin berkualitas dan menciptakan demokrasi yang lebih baik.
Pemilu Berkualitas
Untuk menciptakan pemilu berkualitas, butuh
perbaikan di segala lini. Mulai regulasi yang jelas, peserta pemilu yang
kompeten, birokrasi yang netral, penyelenggara pemilu yang berintegritas, dan
pemilih yang cerdas. Jika komponen-komponen itu tidak terwujud, akan ada celah
yang dapat merusak kualitas pemilu.
Pemilih yang cerdas memiliki peran penting dalam
demokrasi. Pemilih cerdas akan menempatkan pemilu sebagai alat, bukan tujuan.
Pemilu merupakan sarana untuk menyeleksi calon pemimpin yang kredibel. Dengan
begitu, kualitas calon pemimpin sangat ditentukan proses pemilu.
Karena itu, pilihlah pemimpin yang dipandang
kredibel dan hindari politik uang. Politik uang sama saja dengan memberikan
peluang kepada calon tidak kredibel untuk menjadi pemimpin. Masyarakat juga
tidak boleh golput. Sebab, hal itu hanya akan menguntungkan bagi calon yang
tidak kredible.
Karena biasanya, perilaku golput dilakukan orang
yang kritis yang memandang tidak ada calon yang kredibel. Padahal golput akan
memberikan peluang orang yang kurang kompeten untuk memenangkan pertandingan.
Gerakan golput sama bahayanya dengan politik uang. Karena itu, jangan golput
dan tolak politik uang. (*)