Musim hujan sudah datang seminggu terakhir. Kera-kera yang
tinggal di lereng gunung sedang bimbang. Mereka bingung, haruskan mencari
tempat lain yang aman? Atau mengungsi ke rumah-rumah warga kampung di bawah
lereng? Mereka tahu, tanah di lereng gunung telah gundul dan kera-kera cerdik
itu merasa sebentar lagi akan longsor karena hujan.
Di hutan dalam lereng gunung tempat tinggal kera-kera itu,
hiduplah seekor ular piton besar. Ular piton adalah pemangsa yang hebat. Ia
membuat sarang di bekas pohon yang ditebang. Ular piton hidup menyendiri, sepi,
dan menunggu sesuatu untuk dimangsa. Saat lapar tiba, ular piton berwarna
cokelat motif batik itu keluar dari sarang.
“Mendung!” gumam si piton. “Mulai gerimis! Sebentar lagi
hujan pasti lebat. Aku suka sekali. Saat seperti ini banyak sesuatu yang bisa
kumangsa.”
Ular itu tahu setiap hujan turun binatang-binatang penghuni
hutan di lereng gunung hanya bisa berteduh, kadang di bawah pohon, kadang di
goa-goa kecil tempat persembunyian mereka. Tidak banyak yang bisa mereka
lakukan selain berteduh menunggu hujan reda.
Si piton segera melata, mengendus aroma daging calon
mangsanya. Lidahnya menjulur-julur lucu. Saat berjalan santai di bawah hujan,
si piton pun melihat seekor kera mungil yang sedang berteduh di bawah pohon
aren. Kera itu menggigil.
“Ah, santap siang yang enak ini,” gumam Piton. Ia sudah
membayangkan kelezatan setiap inci tubuh kera yang renyah. Pasti gurih!
batinnya. Andai saja semua itu bisa dilakukannya dengan mudah. Kemudian ia
mencari-cari strategi untuk segera menyergap si kera agar tepat sasaran.
Sesampainya di dekat kera mungil itu, si piton mendengar si
kera sedang merintih, seperti kesakitan. Si piton tiba-tiba berubah pikiran.
Ah, sakit apa dia? Tanya Piton dalam hati.
Piton kembali melata mendekati kera yang menggigil dan
merintih sendirian.
“Hei, Kera? Kau menggigil? Kau merintih? Kau sakit? Demam?”
tanya Piton setelah menampakkan diri di depan kera mungil itu.
“Piton? Kau membuatku kaget. Mau ke mana kau, hujan-hujan
begini?”
“A-aku. Aku mau lewat saja. Aku suka hujan-hujanan. Karena
aku bisa bermain air. Kau belum jawab pertanyaanku, Kawan?” kata Piton lagi.
“Hmm, ya, kakiku memang sedang sakit. Seseorang tadi membuat
jebakan di ujung hutan. Aku sempat terjepit jebakan besi. Aku dikira tikus apa,
ya? Dijebak dengan benda mirip jebakan tikus. Lihat ini, kakiku luka. Untung
aku bisa melepaskan diri,” rintih Kera.
“Aih, lukamu lumayan parah, Kawan. Darah masih mengucur,
tuh! Kalau kau tak bersihkan bisa membusuk kakimu.”
“Benar juga. Akan ada banyak kuman sepertinya. Dan sekarang
aku sudah merasakan ada kuman-kuman menjalar di tubuhku. Ah, jangan-jangan
sebentar lagi aku mati membusuk, berbelatung. Bagaimana ini, Piton? Ah, kenapa
kau tak makan aku saja? Cepatlah!” kata Kera memelas.
Piton sedikit bimbang. Ia merasakan dilema, perutnya memang
lapar, tetapi ia jijik membayangkan kera itu sudah dipenuhi kuman yang sebentar
lagi membusuk.
“Ah, tidak, tidak. Aku tak tega, Kawan. Kau sedang
teraniaya. Tak boleh memangsa lawan yang sedang teraniaya.”
Padahal dalam hati, Piton takut kalau kuman dalam kera itu
akan berpindah ke tubuhnya. Selera makan Piton hilang seketika.
“Oh, begitukah, Kawan?”
“Ya, tentu saja!’
“Baiklah, kalau begitu aku akan mencari air di sungai untuk membersihkan
lukaku ini. Boleh aku pamit?”
“Baiklah. Kau tenang saja, Kawan. Lain kali aku tak akan
memburumu. Meskipun kau sudah sehat kembali.”
“Kau janji, Piton?”
“Iya. Aku janji. Sana, pergilah. Sembuhkan lukamu dulu. Aku
pun mau melanjutkan perjalananku. Aku mau cari tupai saja. Sebenarnya aku
sedang lapar,” ujar Piton.
“Hmm, baiklah. Selamat berburu, Kawan! Semoga kau dapat
tupai yang gemuk.”
“Terima kasih, Kera.”
Ular piton itu melata lebih dulu, meninggalkan kera mungil
yang banyak akal. Si Kera kini terbengong-bengong. Dalam hati ia tertawa sambil
berkelakar, “Begitu mudah menyelamatkan diri dari ancaman ular. Tak kusangka,
meski tampilannya menyeramkan kadang ia baik juga. Pantas, sekarang ular-ular
seperti piton itu sering diburu manusia, dijadikan binatang peliharaan. Ya,
ternyata mereka memang lucu dan sedikit dungu. Mungkin karena itulah mereka
mudah dijinakkan. Ah, terserah saja lah.”
Struktur Cerita Fantasi
Semua
jenis teks dalam bahasa indonesia memiliki struktur pembentuk, sama halnya
dengan teks cerita fantasi. Struktur cerita fantasi umumnya hampir sama dengan
struktur teks narasi yakni terdiri dari orientasi, konflik, resolusi dan
ending. Adapun penjelasan dari masing masing struktur adalah sebagai berikut:
- Orientasi : Pengenalan atau orientasi merupakan sebuah bagian dimana pengarang memberikan pengenalan tentang penokohan, tema, dan sedikit alur cerita kepada pembacanya.
- Konlik : Konflik sendiri merupakan bagian dimana terjadi permasalahan dimulai dari awal permasalahan hingga menuju ke puncak permasalahan.
- Resolusi : Resolusi merupakan penyelesaian dari permasalahan atau konflik yang tejadi. Resolusi sendiri merupakan bagian penentu yang akan mengarah pada ending.
- Ending : Ending merupakan penutup cerita fantasi. Ending sendiri dapat dibedakan menjadi dua yakni happy ending dimana tokoh utama menang dan hidup bahagia. Dan yang lain adalah sad ending dimana tokoh utama tewas setelah mencapai tujuan dan sebagainya.
Itulah
struktur cerita fantasi secara umum, setelah kita mengetahui ciri ciri dan
struktru teks cerita fantasi, sekarang saatnya kita membaca contoh teks cerita
fantasi dan mengaplikasikan ilmu yang sudah kita baca sebelumnya.